Profil Ulama Impian Orang Indonesia
Kyai Haji Achmad Mustofa Bisri terlahir dari keluarga santri pada 10 Agustus 1944 di kota Rembang – Jawa Tengah. Ayah beliau yakni Kyai Bisri Mustofa merupakan salah satu pencetus berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama. Sedangkan kakeknya yang juga memiliki nama yang sama dengan beliau yaitu Mustofa Bisri terkenal pula sebagai seorang ulama yang alim. Bagi kebanyakan ulama pemberian nama pada anakanya seringkali cukup dibalik dari nama ayahnya sehingga bagi kita cukup mudah menghhafal nasabnya seperti Mustofa Bisri bin Bishri Musthofa bin Musthofa Bishri.
Tidak beda dengan kebanyakan para kyai lainnya, Mustofa Bisri termasuk kyai yang aktif pula dalam mengurusi umat melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Selepas sesai kuliah di Mesir pada 1970, beliau kembali ke Indonesia kemudian menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Tahun 1977, beliau naik dengan menduduki jabatan Mustasyar Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung – Jawa Barat tahun 1994, beliau dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU periode 1994 – 1999, begitu pula pada periode selanjutnya tahun 1999 – 2004.
Keluarga Musthofa Bisri
KH Achmad Mustofa Bisri memiliki seorang istri, Siti Fatimah yang belum lama ini meninggal dunia. Pasangan keluarga ini dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan, dan satu-satunya anak lelaki adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura karena ngaji dan nyantri di sana. Anak-anak keturunan Kyai Haji Achmad Mustofa Bisri :- Ienas Tsuroiya
- Kautsar Uzmut
- Randloh Quds
- Rabitul Bisriyah
- Nada
- Almas
- Muhammad Bisri Mustofa
Kakek empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok bersama anak keenamnya Almas. Beliau menjadi pemimpin dan pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin yang terletak di desa Leteh – kecamatan Rembang Kota – kabupaten Rembang – Jawa Tengah, menggantikan saudara beliau KH Cholil Bisri yang meninggal dunia.
Keluarga Mustofa Bisri tinggal di sebuah rumah wakaf sederhana dan kuno tapi asri di kawasan pesantrenya. Di tempat itu, terdapat salah satu ruangan 5 x 12 meter yang beralaskan karpet hijau dan satu set kursi tamu rotan dan sofa coklat yang sudah usang. Di situlah biasanya sang kyai menerima tamu dan juga mengajar ngaji santrinya.
Pintu ruang depan rumah terbuka full selama 24 jam untuk siapa saja. Sebagai rumah wakaf, kakek yang rambutnya telah memutih ini berprinsip siapapun boleh tinggal di situ. Dengan begitu, para tamu yang datang lewat tengah malam dapat langsung beristirahat di ruangan itu tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Mustofa Bisri akan menemui dan menyapa mereka dengan ramah.
Gus Mus Sang Kyai Pembelajar
Achmad Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus, adalah seorang kyai, cendekiawan muslim, penyair, novelis, pelukis, politikus dan budayawan. Beliau terkenal sebagai kyai multi talenta yang memberikan warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kyai bersahaja yang tidak ambisius. Ia termasuk kyai pembelajar bahkan hingga sampai sekarang pun ketika sudah menjadi pewaris pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah yang didirikan oleh ayahnya sejak tahun 1941.Sewaktu kecil Gus Mus dididik langsung oleh orang tuanya dengan keras apalagi menyangkut prinsip-prinsip agama. Setelah tamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia berhenti lalu memutuskan untuk nyantri di Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo – Kediri. Layaknya remaja pada umumnya, Gus Mus muda ingin menjajal sebanyak mungkin pesantren yang ada di tanah air. Akhirnya setelah dua tahun di Lirboyo – Kediri, Gus Mus pindah lagi ke Pondok Pesantren Krapyak – Yogyakarta.
Di bawah bimbingan KH Ali Maksum, Gus Mus bertahan nyantri di Krapyak selama hampir 3 tahun dan kembali pulang kampung ke Rembang untuk mengaji langsung kepada ayahnya. Bagi Gus Mus, KH Ali Ma’shum Krapyak dan ayahnya lah guru yang paling banyak mempengaruhi kemampuan kreatifitas seninya. Kedua gurunya itu dikenal memang memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk mengembangkan bakat mereka masing-masing termasuk bidang seni.
Baca Juga ---> Biografi dan Riwayat Hidup KH. Maimoen Zubair
Pada usia sekitar 20 tahun tepatnya tahun 1964, Gus Mus muda dikirim ke Kairo – Mesir untuk kuliah di perguruan tinggi Universitas al-Azhar jurusan studi keislaman dan bahasa Arab hingga lulus tahun 1970 setelah 6 tahun menempuh pendidikan. Di sana, Gus Mus tinggal dan berteman akrab dengan Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mana satu angkatan dengan beliau.
Gus Mus bahkan pernah “nunut mangan” kepada Gus Dur selama berbulan-bulan dikarenakan beasiswanya belum juga turun. Persahabatan keduanya pun terus berlanjut sampai pulang kembali ke tanah air. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur seringkali singgah di Rembang dan mampir ke kediaman Gus Mus. Begitupun sebaliknya, bila Gus Mus berkunjung ke Jakarta, sebisa mungkin bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, keduanya tidak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.
Gus Dur dan Gus Mus adalah dua sahabat yang sama-sama memiliki pemahaman matang terhadap berbagai disiplin ilmu. Yang membedakan, Gus Dur bagi sebagaian orang tampak kontroversial, sedangkan Gus Mus lebih santai menunggu kesiapan pemahaman masyarakat untuk suatu hal yang belum umum diketahui masyarakat. Demikianlah para ulama seringkali bagi tugas dalam memperhatikan umatnya. Namun bagi kita terkadang melihatnya sebagai suatu yang bertentangan kemudian mengunggulkan satu ulama dan menyalahkan yang lain, padahal para ulama sendiri tidak pernah ada masalah karena paham tupoksinya masing-masing.
Pada usia sekitar 20 tahun tepatnya tahun 1964, Gus Mus muda dikirim ke Kairo – Mesir untuk kuliah di perguruan tinggi Universitas al-Azhar jurusan studi keislaman dan bahasa Arab hingga lulus tahun 1970 setelah 6 tahun menempuh pendidikan. Di sana, Gus Mus tinggal dan berteman akrab dengan Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mana satu angkatan dengan beliau.
Gus Mus bahkan pernah “nunut mangan” kepada Gus Dur selama berbulan-bulan dikarenakan beasiswanya belum juga turun. Persahabatan keduanya pun terus berlanjut sampai pulang kembali ke tanah air. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur seringkali singgah di Rembang dan mampir ke kediaman Gus Mus. Begitupun sebaliknya, bila Gus Mus berkunjung ke Jakarta, sebisa mungkin bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, keduanya tidak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.
Gus Dur dan Gus Mus adalah dua sahabat yang sama-sama memiliki pemahaman matang terhadap berbagai disiplin ilmu. Yang membedakan, Gus Dur bagi sebagaian orang tampak kontroversial, sedangkan Gus Mus lebih santai menunggu kesiapan pemahaman masyarakat untuk suatu hal yang belum umum diketahui masyarakat. Demikianlah para ulama seringkali bagi tugas dalam memperhatikan umatnya. Namun bagi kita terkadang melihatnya sebagai suatu yang bertentangan kemudian mengunggulkan satu ulama dan menyalahkan yang lain, padahal para ulama sendiri tidak pernah ada masalah karena paham tupoksinya masing-masing.
Menolak Dicalonkan Ketua PB NU
Pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali – Jawa Tengah, Gus Mus diajukan oleh Gus Dur dan kawan-kawan NU kultural agar maju menjadi calon ketua umum PB NU untuk bersaing dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Menurut Gus Dur, Gus Mus saat itu dianggap salah satu ulama yang berpotensi mampu menandingi laju Kyai Hasyim Muzadi yang merupakan ketua umum PB NU periode sebelumnya. Namun setelah mengukur diri, Gus Mus bersikukuh menolak keinginan kuat Gus Dur yang terkenal sebagai ulama kontroversial tersebut.
KH Achmad Mustofa Bisri memang selau mencoba mengambil pelajaran di setiap perjalan hidupnya. Ia tidak ragu menarik diri ketika tidak merasa cocok berada pada suatu posisi lembaga. Contohnya meskipun Gus Mus pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992 mewakili PPP dan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), beliau tidak pernah mau lagi dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut.
Bahkan pada Pemilu Legislatif 2004 namanya telah ditetapkan sebagai salah satu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, namun beliau memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Gus Mus beralasan bahwa dirinya bukanlah orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Sebab pengalaman selama menduduki kursi DPRD dan menjadi politisi, Gus Mus merasa ada konflik batin dalam dirinya. Karena sebagai wakil rakyat, menurut beliau apa yang dapat diberikanya tidak sebanding dengan apa yang diterimanya dari rakyat. Tak hanya itu, bahkan ketika banyak tokoh NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, Gus Mus tetap dengan elegan tidak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya.
Baca pula ---> Tokoh Muslim Pencetus Konsep Revolusi Iran
Demikian pula saat dicalonkan menjadi ketua umum PB NU dalam muktamar ke-31 (28 November – 2 Desember 2004) di Boyolalai, Gus Mus pun juga menolak. Kyai Nyentrik ini memang jadi langganan calon ketua umum yang dicuatkan dalam beberapa kali muktamar NU, namun bersamaan itu beliau selalu pula dapat menolak. Pada muktamar NU ke-31 bahkan Gus Dur dan para kyai sepuh dikabarkan telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai para kyai menyuruh beberapa utusan untuk menemui ibu Gus Mus, Marafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Akan tetapi ibu dan anak ini ternyata sudah klop, sang ibunda Gus Mus justru hanya menjawab lugas khas kyai NU, “Mustofa itu gak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah gak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya gak pernah ketemu”.
Baca pula ---> Tokoh Muslim Pencetus Konsep Revolusi Iran
Demikian pula saat dicalonkan menjadi ketua umum PB NU dalam muktamar ke-31 (28 November – 2 Desember 2004) di Boyolalai, Gus Mus pun juga menolak. Kyai Nyentrik ini memang jadi langganan calon ketua umum yang dicuatkan dalam beberapa kali muktamar NU, namun bersamaan itu beliau selalu pula dapat menolak. Pada muktamar NU ke-31 bahkan Gus Dur dan para kyai sepuh dikabarkan telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai para kyai menyuruh beberapa utusan untuk menemui ibu Gus Mus, Marafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Akan tetapi ibu dan anak ini ternyata sudah klop, sang ibunda Gus Mus justru hanya menjawab lugas khas kyai NU, “Mustofa itu gak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah gak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya gak pernah ketemu”.
Pengalaman Gus Mus sebagai mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 agaknya sudah cukup bagi Gus Mus. Maka dari itu beliau tampak enggan lagi dicalonkan. Pria bertutur kata lembut ini dengan tangkas menjawab bahwa beliau punya hak perogatif untuk menolak.
0 Response to "Profil Ulama Impian Orang Indonesia"
Posting Komentar