Keluarga, Guru, dan Riwayat Keilmuan dari KH. Maimoen Zubair

Siapa Kyai Yang Menjaga Indonesia Saat Ini? - Beberapa tahun terakhir, satu demi satu ulama sepuh penerus perjuangan Indonesia meninggal dunia. dan yang aneh beliau-beliau itu seringkali wafat dalam waktu yang hampir bersamaan. Demikianlah Allah mencabut ilmu dari dunia ini, tidak cukup ilmunya saja tetapi juga penjaga ilmu itu sendiri. Setiap ulama meninggal tentu tidak semua ilmu yang dimilikinya telah menurun pada generasi berikutnya. Lalu bagaimana jika banyak ulama yang meninggal secara bersamaan ? Indonesia menangis, langitpun menangis, semua berduka.

Peran beliau-beliau itu harus ada yang menggantikan. Mengayomi umat, mendidik, dan menjaga kedamaian Indonesia. Saat ini sudah sangat jarang ditemuai kyai arif bijaksana yang dihormati oleh semua elemen masyarakat. Kyai Haji Maimun Zubair adalah harapan besar kita. Beliau sepuh, berkeilmuan luas, kharismatik dan bijaksana. Bagi kita tak ada alasan untuk tidak optimis menatap kehidupan. Kita harus percaya Allah tidak akan lepas tangan membiarkan kita dalam kesesatan. Allah telah menarik namun juga menurunkan seorang Kyai Haji Maimun Zubair yang dihormati dan dijadikan sandaran oleh masyarakat Indonesia.

riwayat keilmuan KH. Maimoen Zubair

Kyai Haji Maimun Zubair terlahir pada hari Kamis Legi, bulan Sya’ban 1347/1348 H yang bertepatan dengan 28 Oktober 1928 M di pesisir pantai desa Karangmangu, kecamatan Sarang, kota Rembang, Jawa Tengah. Oleh banyak orang, KH Maimun Zubair dianggap sebagai punjer tanah jawa dan lebih sering dipanggil dengan sebutan Mbah Moen (EYD : Mbah Mun).

Beliau merupakan putra pertama dari Kyai Zubair bin Dahlan, seorang ulama yang terkenal dengan kesederhanaanya dan merakyat. Sedangkan Ibunda Mbah Moen adala Nyai Mahmudah yakni putri Kyai Ahmad bin Syu’aib yang dikenal sebagai kyai kharismatik dan memegang teguh pendirian.

Pribadi Mbah Moen adalah perpaduan seimbang antara aktualisasi keilmuan salaf klasik dan modernitas pengetahuan kekinian. Dari ayah beliau, Mbah Moen banyak meneladani kesederhanaan, keteguhan dan ketegasan, sementara dari kakeknya, beliau meneladani kedermawanan dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Beliau mampu mengaplikasikan kasih sayang dengan tanpa membalikkan keteguhan, dan mengamalkan rendah hati tanpa mengurangi ketegasan. 

Kerasnya kehidupan pesisir pantai tidak berpengaruh pada sikap beliau yang bijaksana. Mbah Moen adalah pribadi moderat gambaran dari pribadi yang santun namun tegas, berkeilmuan  matang tapi rendah hati, dan penjaga tradisi tanpa menafikan perkembangan saat ini juga masa depan. Semuanya telah diresapi semenjak hidup dalam tradisi pesantren bahkan sampai berkecimpung pada dunia politik dan menjadi tokoh nasional yang disegani.

Dalam hidupnya, Mbah Moen pernah menjadi menantu dari kyai sepuh  yakni Mbah Baidlowi bin Abdul Aziz. Kemudian beliau juga menjadi menantu Kyai Idris dengan menikahi putrinya yang bernama Nyai Hajah Masthi’ah. Secara garis keturunan, nasab Kyai Idris yaitu bin Umar bin Abdul Karim bin Ki Tawangsa bin Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahman. Dengan demikian Nyai Hajah Masthi’ah adalah keturunan dari Mbah Sambu Lasem yang terkenal menomorsatukan amal soleh serta kepedulian lingkungan. 

Mbah Maimun Zubair dikaruniai 10 anak, yakni 8 putra dan 2 putri :
  1. KH Abdullah Ubab
  2. KH Gus Najih
  3. KH Majid Kamil
  4. Gus Abdul Ghofur
  5. Gus Abdurrouf
  6. Gus M. Wafi
  7. Gus Yasin
  8. Gus Idror
  9. Ning Sobihah menikah dengan Mustofa Aqil
  10. Ning Rodhiyah menikah dengan Gus Anam 

keluarga anak KH. Maimoen Zubair

Semenjak kecil, Kyai Haji Maimun Zubair dididik langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan berbagai macam Ilmu Syara’ yang lain. Ayahanda beliau, Kyai Zubair ialah tidak lain murid dari Syaikh Sa’id al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al- Makky. Metode hafalan umum dipakai oleh para kyai sebab terbukti dapat memancing kecerdasan otak anak.

Pada sekitar tahun kemerdekaan, Mbah Moen kira-kira berusia 17 tahun memulai pengembaraan ilmunya dengan nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo – Kediri. Di sana beliau mendapat bimbingan langsung dari KH. Abdul Karim yang biasa dikenal sebagai Mbah Manab. Selain kepada Mbah Manab, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuqi.


Pada usia 21 tahun, beliau meneruskan ngaji ke Makkah Al-Mukarromah atas arahan dan juga diantar langsung kakeknya, yakni KH. Ahmad bin Syuaib dalam perjalanan keberangkatanya. Di Makkah, Mbah Moen menimba ilmu dari sekian banyak ulama yang kompeten di bidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas al-Maliki, Syaikh al-Imam Hasan al-Masyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syaikh Abdul Qadir al-Mandily dan Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani.

Mbah Moen muda tinggal menetap di Makkah al-Mukarromah ditemani KH Abdul Rahim bin Ahmad selama dua tahun lebih. Kemudian tibalah waktunya untuk kembali ke kampung halaman. Namun beliau tetap belum merasa cukup setelah kembali dari tanah suci. Pengetahuan agama yang telah didapatkan dari ulama haramain tidak serta merta menjadikan Mbah Moen merasa puas terhadap ilmu. Beliau tahu, di Indonesia tidaklah kekurangan orang alim dan pandai. Akhirnya Mbah Moen pun mengembara lagi untuk berguru dan ngaji kepada ulama-ulama sepuh Jawa dan sekitarnya antara lain :
  • KH. Baidlowi bin Abdul Aziz (mertua beliau), Lasem – Rembang.
  • KH. Ma’shum, Lasem – Rembang.
  • KH. Ali Ma’shum, Krapyak – Jogjakarta
  • KH. Bisri Musthofa (ayahanda Gus Mus), Rembang
  • KH. Abdul Wahhab Hasbullah
  • KH. Mushlih, Mranggen – Demak
  • KH. Abbas, Buntet – Cirebon
  • Syaikh Ihsan, Jampes – Kediri
  • KH. Abul Fadhol, Senori – Tuban
  • Kyai Abul Khoir, Senori
  • Kyai Ma’ruf, Kedunglo
  • Kyai Bishri Syamsuri
  • Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bafaqih, Malang
  • Habib Ali bin Ahmad al-Athas, Pekalongan
  • KH. Thohir, Jakarta
  • KH. Abdul Hamid, Pasuruan
  • Kyai Hudhori, Tegalrejo – Magelang
  • KH. Raden Asnawi, Kudus
  • Syaikh Dr. Dhiya’uddin bin Najmuddin bin Syaikh al-Qutb Muhammad Amin al-Kurdi al-Mishri (Guru mursyid Thoriqoh).

Setelah melakukan pergulatan ilmu selama beberapa tahun, pada tahun 1965 beliau mulai menetap di kampung halamanya di desa Karangmangu – Sarang dan beritikad mengabdikan diri berkhidmat pada ilmu-ilmu agama dengan mendirikan Pondok Pesantren yang berada di sisi kediaman beliau. Pesantren tersebut diberi nama al-Anwar yang kemudian dikembangkan lagi  menjadi al-Anwar 1 dan 2.

guru KH. Maimoen Zubair

Pesantren Mbah Moen memiliki ciri khas yang kuat dalam hal musyawarah yang dengan itu terbukti mampu menjadikan alumni-alumni santri dan santriwati lulusan pondok pesantren al-Anwar Sarang sebagai manusia yang siap mental saat terjun di masyarakat dan juga berpengetahuan luas serta fleksibel.


Selain menjadi ulama dan pengasuh pesantren, Mbah Moen juga merupakan seorang politikus yang mana beliau sekarang ini menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebelumnya beliau juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun. pasca usai masa bakti sebagai anggota DPRD, beliau kembali lagi berkonsentrasi mengurus pondok pesantrenya. Akan tetapi ternyata tenaga dan pikiran beliau sangat dibutuhkan negeri ini sehingga beliau pun diangkat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mewakili Jawa Tengah selama 3 periode.

Pada tahun-tahun terakhir ini, selepas wafatnya beberapa ulama sepuh semisal Mbah Sahal Mahfudz dan yang lainya, maka di Indonesia ini khususnya di Jawa, Mbah Moen menjadi ulama yang paling dituakan dan dihormati oleh semua kalangan. Baik di dunia pesantren, organisasi Nahdlatul Ulama (NU), pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Keluarga, Guru, dan Riwayat Keilmuan dari KH. Maimoen Zubair"

Posting Komentar