Mengenal Ali Syariati Pejuang Muslim Pencetus Konsep Revolusi Iran

Desa Mazina, sebuah desa kecil yang terletak dekat Masyhad di Timur laut Khurasan, negeri Iran, tercatat sebagai desa yang bersejarah dalam revolusi Iran. Karena di desa ini lahir seorang intelektual revolusioner yaitu Ali Syari’ati, tepatnya pada tanggal 24 November 1933. Ali Syari’ati adalah buah hati pertama dan anak laki-laki satu-satunya dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi Syari’ati dengan Putri Zahra. Dan Ali Syari’ati memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsaneh).
Tokoh pencetus konsep revolusi iran
Falsafah perjuangan pemikiran Ali Syariati
 Sayyid Muhammad Taqi Syari’ati adalah ayah sekalian guru Ali Syari’ati yang secara ekonomi termasuk golongan menengah kebawah dan bekerja di lebih satu institusi pendidikan. Sedangkan ibunya seorang dari keluarga pemilik tanah pertanian yang sangat kecil. Kedua orang tuanya adalah orang yang salih, suka membantu, disegani masyarakat, dan selalu menjalankan ritual-ritual keagamaan dengan seksama. Keluarganya menganggap bahwa Islam merupakan doktrin sosial dan ideologi yang mampu mengubah kondisi sosial yang ada, bukan sebagai kumpulan tradisi-tradisi lama semata. Dengan latar belakang keluarga seperti inilah, Syari’ati membentuk pola pikir, intelektualitas, karakter, dan jati dirinya. 
Pada tahun 1941, yakni ketika Ali Syari’ati berusia 8 tahun, ia mulai memasuki dunia pendidikan pada tingkat dasar tempat ayahnya mengajar, yakni sekolah swasta Ibn Yamin atau tepatnya disebut Ibn-e Yamin Primary School. Di usia relatif muda ini, Syari’ati tidak seperti anak kecil lainnya yang senang bermain-main bersama teman-teman sekolah maupun sekeliling desa yang seusia dengannya. Ia termasuk dalam kategori seorang pendiam, tidak banyak bergaul, dan tidak mau diatur. Akan tetapi, Syari’ati rajin membaca buku bersama ayahnya hingga larut malam, bahkan hingga menjelang pagi. Buku yang dibaca selalu tidak berkaitan dengan pelajaran yang diwajibkan di sekolahnya. Dia jarang sekali bahkan tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya. 
Tahun 1947, Ali Syari’ati menyelesaikan studinya pada tingkat dasar. Saat yang bersamaan, ia memasuki sekolah menegah firdausi (Firdowsi Secondary School). Pada masa ini, Syari’ati masih memiliki sifat pemalas, akan tetapi terdapat beberapa sifat yang berbeda ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Ia lebih dikenal seorang anak yang unik karena ia bisa membuat teman-temannya tertawa, mampu bersosialisasi, kalem, bijaksana yang kecerdasannya mampu memecahkan kesunyian dan mengacaukan kelas, dan tak terhindari bahwa Syari’ati sering membuat marah guru-gurunya, sehingga sangat menyenangkan untuk dijadikan teman. Pada usia muda ini, Syari’ati juga sangat aktif terlibat dalam berbagai gerakan dan organisasi. Tahun 1940-an ia sudah turut dalam “gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan “Pusat Pengembangan Dakwah Islam” yang didirikan oleh ayahnya. 
Ali Syari’ati telah sukses menyelesaikan tanggung jawabnya di bangku sekolah menengah atas dan dinyatakan lulus pada tahun 1950. Dan diperkirakan pada tahun 1946-1950, Syari’ati mengalami krisis kepribadian dan kegoncangan dalam keyakinan keagamaannya hingga fondasinya. Ini merupakan akibat dari buku yang dibacanya tentang filsafat barat mulai yang bersifat nihilitas, simbolistis, hingga atheis. Salah satu filsafat yang mempengaruhi pemikiran dan membentuk karakternya adalah filsafat maeterlinck. 
Pada tahun 1950, Ali Syari’ati mengikuti ujian masuk di Kolese Pendidikan Guru (Teacher Training College) di Mashad atas permintaan ayahnya. Di institusi tersebut, Syari’ati memiliki empat teman seperjuangan semasa sekolahnya yang bernama Akbar Safavieh, Gholam-Hossein Danesytalab, Nasrollah Davudi dan Kazem Rajvi. Pada usia itulah dia memeulai kariernya sebagai penulis, dengan karya-karyanya antara lain “pendidikan Tengah” (maktab-e Wasita), mengenai filsafat sejarah . Dan sebelum ia masuk ke Universitas, dia sudah menerjemahkan buku-buku berbahasa asing. Berkat kelancaran lisan, ketajaman tulisan, dan kemahirannya dalam bahasa Arab dan Perancis, ia mampu menerjemahkan buku tentang Abu Dzarr Al-Ghaffari dari bahasa Arab dan sebuah buku tentang Do’a dari bahasa Perancis. Dalam jangka waktu singkat, Syari’ati mampu lulus dari Institusi Keguruan tersebut tahun 1952. 
Tanggal 15 September 1955 di Mashad berdiri Universitas Mashad, disinilah Ali Syari’ati melanjutkan pendidikannya, tepatnya di Fakultas Sastra. Di universitas ini juga, Syari’ati mengembangkan bakat sastranya, sehingga ia menjadi seorang yang populer atas keilmuan yang ditekuni. Selain sebagai mahasiswa di Mashad, dia juga masih menyandang profesi sebagai guru. Sebagai mahasiswa yang progresif dan massif, ia selalu menunjukkan perbedaan pendapat dengan guru-gurunya, sehingga memicunya untuk lebih mengembangkan jalan pikirannya melalui buku-buku dan berdiskusi dengan orang-orang disekelilingnya. Dengan menyelami beberapa ilmu, merenung, meneliti, dan berdiskusi, Syari’ati termasuk dalam salah satu orang yang mendapatkan prestasi akademiknya, dengan itulah ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Sorbone University Paris, Perancis. 
Kota Paris merupakan salah satu saksi atas kepiawaian Ali Syari’ati terhadap ilmu yang dia cari dan kota ini sangat berperan dalam mempengaruhi pemikirannya, karena dikota tersebut ia menemukan hal-hal yang relatif baru dan terdapat perbedaan signifikan antara ilmu yang ia dapatkan di Iran yang berasaskan Islam sedangkan di Paris ia menemukan nilai yang berbeda. Syari’ati mulai menelaah buku-buku yang tidak terdapat dan belum pernah diperolehnya di Iran dan kalaupun ada, sering sekali tidak orisinil lagi. Di perkaya dengan kemampuannya dalam berbagai bahasa, sehingga mempermudah untuk memahami buku-buku berbahasa lain. Dia juga berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran, baik bidang filsafat maupun sosial, sekaligus mendapat kesempatan untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, para sosiolog, filosof, cendekiawan serta penulis terkemuka. 
Di Parislah, Ali Syari’ati sangat tertarik dan secara formal mempelajari studi-studi Islam dan Sosiologi. Dengan pemahamannya tentang sosiologi dan Islam serta pandangan sosialnya yang menggabungkan ide dan aksi, dia terus berusaha menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang tertindas. Bergitu pula dengan pemahamannya tentang humanisme di Iran berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis berbeda dengan humanisme di Barat yang lebih dekat dengan humanisme yang dibangun berasaskan materi. Maka Syari’ati menemukan Abu Dzarr versi Barat. 
Setelah lama bergelut dalam dunia pendidikan dan gerakan, akhirnya terbukalah hatinya untuk memenuhi sunah Rosulullah SAW, yaitu untuk menikahi Pouran-e Syari’ati Razavi, anak dari Haji Ali Akbar dan Pari, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1958. Pernikahan inilah awal dari kebahagian dan menjadi motivasi tertentu hingga dia berhasil meraih gelar Sarjana Muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Begitu juga dengan bertambah semangatnya dalam menimba ilmu serta membela kaum tertindas. Dengan kelahiran anaknya yang bernama Ehsan, Ali Syari’ati tidak putus semangat untuk menimba ilmu di negeri tetangga. Terbukti dengan kepergiannya ke Paris untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke universitas Sorbonne, Perancis, tepatnya pada bulan April 1959. Hingga tahun 1963, ia mempertahankan tesis doktoralnya dan kembali ke negri asalnya pada bulan September 1964. 
Sebelum kematiannya, pada tahun 1975-1977, Ali Syari’ati menjalani hukuman penjara rumah, akan tetapi dengan jiwa revolusionernya, ia pergi untuk membebaskan diri menuju Inggris pada bulan Mei 1977. Akhirnya pada tanggal 19 Juni 1977, Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di rumah sewaannya tepatnya di Southampton, Inggris, akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi. Namun berita resmi hanya menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, akan tetapi kebanyakan orang percaya bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Pada tanggal 26 Juni 1977, jenazah Syari’ati diterbangkan ke Damaskus, Suriah dan dikebumikan dekat kuburan Zainab, saudari Imam Husain. 

Baca juga ---> 23 Pidato Soekarno Yang Jadi Kenyataan


Tauhid pembebasaan dalam kacamata Ali Syari’ati

Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi Ali Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah Tauhid, sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat.

Pandangan Ali Syari’ati Terhadap Dunia dan Teologi

Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud yang ilmiah dan analitis. Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak membedah konsep Tauhid dengan pendekatan teologis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.
Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi Ali Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah Tauhid, sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.” Dalam pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah “kesemestaan” sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya.
Tauhid sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan, ibadah haji menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan “pulang” kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.
Tauhid sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok yang menghalangi kebebasan manusia. Syari’ati memandang, bahwa Tuhan adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang universal.
Pandangan dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam pandangan Ali Syari’ati, masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari Tauhid.

Langkah-langkah Menuju Revolusi Menurut Ali Syari’ati

Setelah menggambarkan tentang beberapa hal yang menjadi prasyarat dasar untuk membangun  sebuah rencana gerakan revolusi, selanjutnya Syari’ati memaparkan tentang langkah-langkah strategis yang harus dibangun dan dipersiapkan sebagai langkah teknis merealisasikan nilai-nilai dasar revolusi di tengah-tengah masyarakat, yang pada saatnya nanti merekalah yang akan menggerakan revolusi tersebut.
1.  Membangun basis Massa sebagai Kekuatan Revolusi
Dalam sebuah gerakan revolusi banyak hal menjadi faktor penting,penetu bahkan bersifat vital. Beberapa hal penting tersebut adalah tokoh revolusi, ideology, momentum revolusi, kekuatan massa dll. Banayak kalangan memandang bahwa faktor penentu sebuah gerakan revolusi ada ditangan sebuah kelompok elit atau tokoh revolusi yang berpengaruh. Namun bagi Syari’ati hal tersebut bikanlah satu-satunya faktor utama atau penentu, karena selain itu ada lagi hal yang tidak kalah penting dan utama, ialah kekuatan baisis massa yang menjadi faktor mendasar sejarah dan perubahan masyarakat.
Bagi syari’ati basis kekuatan utama sebuah gerakan revolusi ada ditangan kekuatan massa. Syari’ati mendefinisikan massa sbagai sebuah sosok manusia, yaitu manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai kaum intelektual, aristocrat, super, atau memiliki kelas sosiallainnya. Menurtnya, manusia sebagaimana yangdisebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah al-Nas (manusia) yang ditunjukan kepada seluruh manusia, ialah manusia yang bersifat sama dan tanpa klasifikasi tertentu.
Dalam konteks revolusi Islam maka hal pertama dan utama yang harus terwujud adalah sebuah kekuatan massa yang memiliki kesadan ideologi islam sebagai nilai dasar geraknnya, dengan demikian yang harus dilakukan adalah melakukan upaya transformasi kesadaran ideologis terhadapmasyarakat shingga masyarakat mampu menyerap dan memahami Islam sebagai ideologi gerakan, yang dengan sendirinya masyarakat yang telah memilih kesadaran tersebut akan menjadi baisis gerakan revolusi.
Dari pemaparan diatas,sangat jelas bahwa massa menjadi salah satu komponenen penting bagi sebuah gerakan revolusi, karena massa dalam sebuah revolusi bukanlah berperan sebagi objek tetapi sebagi subjek pelaku perubahan. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa massa yang berperan sebagai objek adalah massa yang telah diradikalisasi, dalam artian massa idiologis adalah massa yang telah memilih denga sadar akan peranan dirinya masing-masing.     
2.  Para Kaum Intelektual Tercerahkan
Dalam sebuah proyeksi besar untuk melakukan sebuah gerakan perubahan revolusi, tidak cukup dengan hanya mlakukan propaganda yang bersifat wacana blaka. Gerakan perubahan yang dilakukan masyarkat akan terwujud apabila kesadaran untuk melakukan perubahan itu telah ditarnsfosmasikan secara sistematis sehingga meresap di masyarakat (massa). Pada posisi inilah harus ada sebuah eksponen yang berani mengambil peran sebagai aktor-aktor intelektual penyebar “virus” kesadaran kepada masyarakat.
Dalam hal ini Syari’ati menjabarkan pemikirannya tentang harus adanya aktor-aktor yang berperan sebagai ujung tombak revolusi, aktor ini bertugas melakukan gerakan redikalisasi massa dengan kesadaran revolusioner. Syari’ati menyebutnaya denagan kaum intelektual yang tercerahkan.   Menurut Syari’ati, mereka para Kaum Intelektual Tercerahkan merupakan para eksponen nyata dari Islam yang rasional dan dinamis, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan sebuah pencerahan dan revolusi Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual muslim menghubungkan dirinya dengan masyarakat, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakan keadilan. 
Bagi Syari’ati, Kaum Intelektual Tercerahkan adalah inti dari pemikirannya tidak ada harapan untuk sebuah perubahan atau revolusi tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan social yang real, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah agen intelektual yang meradikalisasi massa yang sedang “tertidur lelap” menuju revolusi melawan penindas. Masayarakat dapat bergerak dan bangkit untuk melakukan revolusi dengan perubahan fundamental struktur social-politik adalah akibat dari peran besar Kaum Intelektual Tercerahkan.
Analisis Pemikiran Ali Syari'ati

Pandangan dunia menjadikan Ali Syari’ati bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan redefenisi tentang pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logiIdea berati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah ilmu tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dengan demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa.

Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengenal Ali Syariati Pejuang Muslim Pencetus Konsep Revolusi Iran"

Posting Komentar