Donor Darah Tidak Haram, Apa Saja Syaratnya ?

Hukum Islam Terkait Donor Darah - Transfusi berasal dari kata “transfusion” dalam bahasa Inggris yang berarti “pemindahan”.Maka secara bebas bisa dikatakan bahwa usaha transfusi darah ialah usaha pemindahan darah dari seseorang kepada orang lain dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang. Dalam PP No. 18 tahun 1980 disebutkan bahwa: “Usaha transfusi darah adalah segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan yang mencakup masalah-masalah pengadaan, pengolahan, dan penyampaian darah kepada orang sakit.”

donor darah tidak haram
Gambar animasi untuk sosialisasi donor darah oleh PMI
Transfusi darah telah diselenggarakan oleh Palang Merah lndonesia sejak tahun 1950 dalam rangka membantu rumah sakit-rumah sakit militer dan sipil setelah diserahkan oleh Tentara Belanda dan Pemerintah Sipil. Sebelumnya usaha Transfusi Darah diselenggarakan oleh NERKAI (Nederlandse Rode Kruis Afdeling Indonesia Palang Merah Belanda Bagian Indonesia), yang dimulai pada tahun 1945. Sebagai usaha rutin pekerjaan tersebut diteruskan oleh Palang Merah Indonesia dan pada permulaan tidak menemui hambatan. 
Kemudian timbul persoalan tentang halal tidaknya darah itu untuk dipindahkan menurut hukum Agama Islam, persoalan tersebut telah terjawab oleh suatu fatwa dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara‟ Departemen Kesehatan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa pemindahan darah menurut Hukum Islam hukumnya boleh. Setelah Reglement op den Dienst der Volksezondheid yang berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda diganti dengan Undangundang tentang pokok-pokok kesehatan dan undang-undang lainnya tentang kesehatan di keluarkan, namun ketentuan khusus mengenai usaha transfusi darah tersebut diatur secara tersendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah. Dalam rangka mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dari transfusi darah dan untuk menjaga derajat kesehatan penyumbang maupun pemakai darah itu, maka penyumbangan darah harus didasarkan pada kesukarelaan, tanpa mengharapkan penggantian uang maupun benda.
Dalam referensi fiqh klasik, belum ditemukan keterangan mengenai donor darah. Keterangan tentang donor darah terdapat di dalam karya ulama-ulama modern. Dalam kitab Fatawa Syarâ’iyah, diterangkan bahwa boleh melakukan donor darah dengan syarat: 
1) Dokter menyatakan bahwa pengambilan darah itu tidak  menimbulkan    akibat berbahaya bagi si pendonor. 
2) Darah diambil secukupnya. 
3) Tidak ada alternatif lain selain melakukan donor darah.

Baca juga --->  Konsep Teologi Pembebasan Ali Syariati

Lalu muncul pertanyaan; Siapakah orang yang berhak diberi tambahan darah? Siapakah si pendonor darah? Siapakah orang yang menjadi rujukan dalam masalah transfusi darah ini? Dan apakah darah boleh diperjualbelikan?
Pertama, orang yang perlu diberi tambahan darah ialah orang sakit atau terluka, yang keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada donor darah.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
Sisi pendalilan ayat-ayat ini adalah, ayat-ayat ini memberikan pengertian,jika kesembuhan orang yang sakit atau terluka serta keberlangsungan hidupnya tergantung pada transfusi darah dari orang lain kepadanya, sementara tidak ada obat yang mubah yang dapat menggantikan darah dalam usaha penyembuhan dan penyelamatannya, maka boleh mentransfusi darah kepadanya. Ini sebenarnya, bukan pengobatan namun hanya memberi tambahan yang diperlukan.
Kedua, si pendonor darah adalah orang yang tidak terancam resiko jika ia mendonorkan darah. Artinya bahwa apabila si pendonor mendonorkan darahnya untuk menolong orang lain, jangan sampai malah dia yang terancam untuk ditolong karena kehabisan darah atau suatu penyakit lain yang akhirnya kambuh karena pendonoran tersebut. Kemudian, kondisi pendonor haruslah orang yang sehat yang tidak memungkinkan terjadinya penularan penyakit kepada orang lain melalui darah yang didonorkan.
Ketiga, orang yang didengar ucapannya dalam masalah perlunya transfusi darah adalah dokter muslim. Jika kesulitan mendapatkannya, tidak ada larangan untuk mendengar ucapan dari dokter non muslim, baik Yahudi ataupun Nasrani, jika ia ahli dan dipercaya orang banyak.
Dalilnya yaitu kisah yang terdapat dalam hadits shahih, bahwa pada saat melakukan hijrah, beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menyewa seorang musyrik yang lihai sebagai pemandu jalan. Ibnu Al-Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya (Bada’i Al-Fawaid) : “Dalam (kisah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa Abdullah bin Uraiqith Ad-Daili sebagai pemandu saat berhijrah padahal dia seorang kafir,” terdapat dalil bolehnya meruju‟ kepada orang kafir dalam bidang kedokteran, celak, obat, tulis menulis, hitungan, cacat atau yang lainnya, selama tidak masuk wilayah yang mengandung keadilan. Keberadaannya sebagai seorang kafir tidak serta merta menyebabkannya tidak bisa dipercaya sama sekali dalam segala hal. Dan tidak ada yang lebih beresiko ketimbang menjadikannya sebagai pemandu jalan, terutama seperti perjalanan melakukan hijrah”.
Ibnu Al-Muflih, dalam kitab Al-Adab Asy-Syar‟iyah, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. “Jika ada seorang Yahudi atau Nasrani yang ahli dalam masalah kedokteran serta dipercaya banyak orang, maka boleh bagi seorang muslim untuk berobat kepadanya, sebagaimana juga boleh menitipkan harta kepadanya dan bermu’amalah dengannya.”
Hukum asal dalam pengobatan, hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini menjadi satusatunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para ahli memiliki dugaan kuat bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien, maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain. 
Keempat, apapun alasannya, darah tidak dapat dan tidak boleh diperjualbelikan. Agama jelas mengharamkan jual beli perkara yang haram, dan darah termasuk perkara yang haram. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan” (Al-Ma‟idah : 3)

Info terbaru --->  22 Rahasia Air Mani Pria Yang Belum Banyak Diketahui

Pemerintah pun melarang keras jual beli darah, karena darah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada setiap insan yang tidak sepantasnya dijadikan obyek jual-beli untuk mencari keuntungan, biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup, sebagaimana disebutkan dalam PP No. 18 Tahun 1980 Pasal 3 yang berbunyi, “Dilarang memperjual belikan darah dengan dalih apapun”. Akan tetapi di dalam fiqh terdapat tatacara yang memperbolehkan penukaran barang najis sehingga uang yang didapat menjadi halal. Penukaran ini diistilahkan dengan Naql al-Yad. Praktik Naql al-Yad adalah sebagai berikut: pihak pendonor memberikan darahnya begitu saja dan pihak penerima memberikan uangnya, tanpa diawali dengan transaksi jual beli atau yang lain.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Donor Darah Tidak Haram, Apa Saja Syaratnya ?"

Posting Komentar